Senin, 01 Juni 2009

99 % Dokter Tidak Tahu Status Kehalalan Obat

Kecemasan pasien kini bertambah satu lagi. Selain cemas karena sakit dan harga obat yang terus melambung, kini kita harus dipusingkan dengan status kehalalan obat-obatan tersebut. Beberapa obat memang mencantumkan dengan jelas sumber bahannya. Misalnya pada obat Lovenox buatan Aventis yang menuliskan BERSUMBER BABI pada kemasannya. Obat tersebut merupakan Hepharin (berfungsi mengencerkan darah) yang dipakai bagi penderita penyakit jantung. Namun sayangnya obat yang dipakai dengan cara disuntikkan itu hanya menginformasikannya pada kemasan luar.

Ada dokter yang memberitahukan hal tersebut pada pasien, tetapi BANYAK DOKTER juga yang TIDAK MEMBERITAHUKAN. Akibatnya pasien yang tidak diinformasikan oleh dokter tidak akan mengetahui hal tersebut. Celakanya lagi, sebagian besar dokter tidak mengetahui status kehalalan obat-obatan yang digunakan untuk para pasiennya tersebut.

Prof dr Jurnalis Uddin bahkan menduga hampir 99 % dokter yang ada di Indonesia tidak tahu halal dan haramnya obat yang beredar, karena memang tidak pernah diajarkan kepada mereka. Nah, kalau dokter saja tidak tahu, bagaimana pasiennya?

Bagaimana dokter mendapatkan informasi tentang obat di Indonesia? Pertama adalah selama pendidikan mereka di fakultas kedokteran di berbagai universitas. Setelah jadi dokter, mereka mendapatkan informasi dari Buku ISO terbitan ISFI yang terbit tiap tahun, buku MMIS edisi Indonesia yang terbit tiap tahun, medical representative yang menyampaikan produk obat dari pabrik/distirubutor , seminar/workshop dimana peserta biasanya meniru lead doctor di bidang tertentu, jurnal cetak dan digital, serta Evidence Based Medicine yang berupa Cochrane atau Evidence Matters.

Informasi yang diberikan oleh berbagai sumber tersebut adalah menyangkut bahan aktif obat, khasiat obat, indikasi pemakaian obat, kontra indikasi, efek samping, dosis dan kemasan. Kkhusus dari evidence based medicine, memberikan pilihan obat/tindakan berdasarkan the best evidence mutakhir. Info mengenai status kehalalan atau bahan haram yang mungkin digunakannya sama sekali tidak ada.

Dari sekitar 200 perusahaan obat yang berproduksi di Indonesia, sebagian besar bahan baku obat yang digunakan dibuat di luar negeri. Prosedur pembuatan obat sesuai dengan prosedur pabrik induk di luar negeri atau beracik dari bahan-bahan yang diimpor dari luar negeri. Dengan demikian mereka juga tidak memiliki informasi yang memadai mengenai status kehalalannya. Sedangkan dari lebih kurang 10.000 jenis obat yang beredar saat ini hampir semuanya BELUM MENDAPATKAN SERTIFIKASI HALAL dari MUI.

Dari fakta-fakta di atas, maka konsumen Muslim memang belum terlindungi secara baik, khususnya dalam penggunaan obat-obatan. Kendala ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan oleh pihak-pihak yang terkait, agar masyarakat tidak terkatung-katung dengan ketidakjelasan status kehalalan obat yang beredar.

Alternatifnya adalah, mengapa kita tak memanfaatkan obat-obatan halal yang tersedia di alam? Seperti MADU, HABBATUSSAUDA, ROSELLA, dan berbagai herba lain yang telah jelas kualitas dan kehalalannya, walau saat ini belum populer di meja Rumah Sakit?



Dikutip dari : http://www.facebook .com/l/;halalmui .or.id

Tidak ada komentar: